SHELLI VELLAYATI .
19510785 . 3PA02
I.
Latar
Belakang
Analisis Transaksional (AT)
adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang menekankan pada hubungan
interaksional. AT dapat dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama
untuk pendekatan kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan
keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan
sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya
keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan
kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna
kemajuan hidupnya sendiri.
AT dikembangkan oleh Eric Berne
tahun 1960 yang ditulisnya dalam buku Games People Play. Berne adalah seorang
ahli ilmu jiwa terkenal dari kelompok Humanisme. Pendekatan analisis
transaksional ini berlandaskan teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis
struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis
terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang
dewasa, dan anak. Pada dasarnya teori analisis transaksional berasumsi bahwa
orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir, dan memutusakan
untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan- perasaannya.
Dalam mengembangkan pendekatan
ini Eric Berne menggunakan berbagai bentuk permainan antara orang tua, orang
dewasa dan anak.
Dalam eksprerimen yang dilakukan
Berne mencoba meneliti dan menjelaskan bagaimana status ego anak, orang dewasa
dan orang tua, dalam interaksi satu sama lain, serta bagaimana gejala hubungan
interpersonal ini muncul dalam berbagai bidang kehidupan seperti misalnya dalam
keluarga, dalam pekerjaan, dalam sekolah, dan sebagainya.
Dari eksperimen ini Berne
mengamati bahwa kehidupan sehari-hari banyak ditentukan oleh bagaimana ketiga
status ego (anak, dewasa, dan orang tua) saling berinteraksi dan hubungan
traksaksional antara ketiga status ego itu dapat mendorong pertumbuhan diri
seseorang, tetapi juga dapat merupakan sumber-sumber gangguan psikologis.
Percobaan Eric Berne ini dilakukan hamper 15 tahun dan akhirnya dia merumuskan
hasil percobaannya itu dalam suatu teori yang disebut Analisis Transaksional
dalam Psikoterapi yang diterbitkan pada tahun 1961. Selanjutnya tahun 1964 dia
menulis pula tentang Games Pupil Play, dan tahun 1966 menerbitkan Principles of
Group Treatment. Pengikut Eric Berne adalah Thomas Harris, Mc Neel J. dan R.
Grinkers.
II.
Konsep
Dasar Pandangan tentang sikap manusia
Analisis Transaksional berakar
dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang bahwa kehidupan manusia
bukanlah suatu yang sudah ditentukan. Analisis Transaksional didasarkan pada
asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami keputusan-keputusan pada masa
lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan
kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne dalam pandangannya meyakini
bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dan, dalam menghadapi persoalan-persoalan
hidupnya.
Kata transaksi selalu mengacu
pada proses pertukaran dalam suatu hubungan. Dalam komunikasi antarpribadi pun
dikenal transaksi, yang dipertukarkan adalah pesan pesan baik verbal maupun
nonverbal. Analisis transaksional sebenarnya bertujuan untuk mengkaji secara
mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa
yang dipertukarkan).
III.
Perwakilan
Ego
Dalam diri setiap manusia,
seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga status ego. Sikap dasar ego yang
mengacu pada sikap orang tua (Parent= P. exteropsychic); sikap orang dewasa
(Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C, arheopsychic). Ketiga sikap
tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua). AT
menggunakan suatu sistem terapi yang berlamdaskan pada teori kepribadian yang
menggunakan pola perwakilan ego yang erpisah; orang tua, orang dewasa, dan
anak. Menurut corey (1988), bahwa ego orang tua adalah bagian kepribadian yang
merupakan introyeksi dari orang tua atau subtitusi orang tua. Jika ego orang
tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan adalah
perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi, atau kita merasa dan
bertindak terhadap orang lain dengan cara yang sama dengan perasaaan dan
tindakan orang tua kita terhadap diri kita. Ego orang tua berisi
perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua dalam diri kita bisa
“orang tua pelindung” atau orang tua pengkritik”.
Ego orang dewasa adalah
pengolah data dan informasi., adalah bagian objektif dari kepribadian, juga
menjadi bagian dari kepribadian yang mengetahui apa yang sedang terjadi. Dia
tidak emosional dan meghakimi, tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan
ekternal. Berdasarkan informasi yang tersedia, ego orang dewasa menghasilkan
pemecahan yang paling baik untuk masalah-masalah tertentu.
Selanjutnya, ego anak berisi
perasaan-perasaan, dorongan dan tindakan yang bersifat spontan, “anak” yang
berada dalam diri kita bisa berupa “anak alamiah,” adalah anak yang impulsif,
tak terlatih, spontan, dan ekspresif. Dia adalah bagian dari ego anak yang
intuitif. Ada juga berupa “anak disesuiakan,” yaitu merupakan
modifikasi-modifikasi yang dihasilkan oleh pengalaman traumatik,
tuntutan-tuntutan, latihan, dan ketepatan-ketepatan tentang bagaimana caranya
memperoleh perhatian.
IV.
Skenario
Kehidupan dan Posisi Psikologi Dasar
Skenario kehidupan adalah ajaran
orang tua yang kita pelajari dan keputusan awal yang dibuat oleh kita sebagai
anak, selanjutnya dipahami oleh kita sebagai orang dewasa. Kita menerima pesan-pesan
dengan demikian kita belajar dan menetapkan tentang bagaimana kita pada usia
dini. Pesan verbal dan non verbal orang tua, mengkomunikasikan bagaimana mereka
melihat dan bagimana merasakan diri kita. Kita membuat keputusan yang
memberikan andil pada pembentukan perasaaan sebagai pemenang (perasaan “OK”)
atau perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan “tidak OK”).
Hubungannya dengan konsep
skenario, pesan-pesan dan perintah orang tua dan keputusan kita. Dalam hal ini,
konsep AT memiliki empat posisi dasar yaitu;
Pertama, Saya OK—Kamu OK
Kedua, Saya OK—Kamu Tidak OK
Ketiga, Saya Tidak OK—Kamu OK
Keempat, Saya Tidak OK—Kamu Tidak
OK.
Masing-masing dari posisi itu
berlandaskan pada keputusan yang dibuat seseorang sebagai hasil dari pengalaman
masa kecil. Bila, keputusan yang telah diambil, maka umumnya dia akan bertahan
pada keputusannya itu, kecuali bila ada intevensi (konselor atau kejadian
tertentu) yang mengubahnya. Posisi yang sehat adalah posisi dengan perasaan
sebagai pemenang atau posisi Saya OK—Kamu OK. Dalam posisi tersebut dua orang
merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka. Saya
OK—kamu tidak OK, adalah posisi orang yang memproyeksikan masalah-masalanya
kepada orang lain dan biasanya melimpahkan kesalahan pada orang lain, ciri pada
posisi ini menunjukan sikap arogan, menjauhkan seseorang dari orang lain dan
mempertahankan seseorang dari teralinasi. Saya Tidak OK—Kamu OK , adalah posisi
orang yang mangalami depresi, merasa tidak kuasa dibanding dengan orang lain
dan cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain
daripada keinginan diri sendir. Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK, adalah posisi
orang yang memupus semua harapan, bersikap pesimis, dan memandang hidup sebagai
sesutau yang hampa.
V.
Kebutuhan
manusia akan belaian
Pada dasarnya setiap manusia
memerlukan belaian dari orang lain, baik itu yang berlainan dalam bentuk fisik
maupun emosional. AT memungut pandangan tentang motivasi manusia bahwa
kebutuhan-kebutuhan dasar berkaitan langsung dengan tingkah laku sehari-hari
yang dapat diamati. Sejumlah kebutuhan dasar mencakup haus akan belainan, haus
akan struktur, haus akan kesenangan dan haus akan pengakuan. Teori AT
menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang bisa
dicapai dalam bentuknya yang terbaik melalui keakraban. Hubungan yg akrab
berlandaskan penerimaan posisi saya OK kamu OK di kedua belah pihak. Hubungan
yg akrab lazimnya bertumpu pada penerimaan cinta di mana sikap defensive
menjadi tidak perlu. Memberi dan menerima adalah ungkapan kenikmatan yang
spontan alih-alih respon-respons terhadap upacara-upacara yang diprogram secara
social. Keakraban adalah hbungan yang bebasa dari permainann karena
tujuan-tujuannya tidak tersembunyi (Harris, 1967 hlm 151-152).
Jadi salah satu cara teori AT
menjabarkan tigkah laku manusia adalah dalam kerangka penyusunan waktu yang
melibatkan berbagai cara meperoleh belaian dari orang lain. Cara-cara itu
berada pada suatu kontinum dari pengakuan-pengakuan yg diperoleh seseorang dari
orang lain melalui upacara-upacara dan permainan-permainan, terhadap
belaian-belaian yang diperoleh melalui suatu hubungan pribadi yg bermakna dan
akrab.
VI.
Permainan-permainan
yang kita mainkan
Para pendukung AT mendorong
orang-orang untuk mengenali dan memahami perwakilan-perwakilan egonya.
Alasannya adalah dengan mengakui ketiga perwakilan ego itu, orang-orang bisa
membebaskan diri dari putusan- putusan anak yang telah usang dari pesan-pesan
orang tua yg irrasional yang menyulitkan kehidupan mereka. AT mengajari orang
bagian mana yang sebaiknya digunakan untuk membuat putusan-putusan yang penting
bagi kehidupannya. Disamping itu, para tokoh AT mengungkapkan bahwa orang-orang
bisa memahami dialog internalnya antara orang tua dan anak. Mereka juga bisa
mendengar dan memahami hubungan mereka dengan orang lain. Mereka bisa sadar
akan kapan mereka terus terang dan kapan mereka berbohong kepada orang lain.
Dengan menggunakan prinsip-prinsip AT, orang-orang bisa sadar akan jenis
belaian yang diperolehnya., dan mereka bisa mengubah respons-respons belaian
dari negatif ke positif.
AT memandang permainan-permainan
sebagai penukaran belaian-belaian yg mengakibatkan berlarutnya-larutnya
perasaan-perasaan tidak enak. Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan
keakraban. Akan tetapi, orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi
memainkan permainan menciptakan jarak di antara mereka sendiri dengan mengimpersonalkan
pasangannya. Transaksi itu setidaknya melibatkan dua orang yang memainkan
permainan. Transaksi permainan akan batal jika salah seorang menjadi sadar
bahwa dirinya berada dalam permainan dan kemudian memutusakan untuk tidak lagi
memainkannya.
Segitiga drama Karpman bisa
digunakan untuk membantu orang-orang untuk memahami permainan-permainan. Pada
segitiga terdapat seorang penuntut, seorang penyelamat, dan seorang korban.
VII.
Tujuan
Terapi
Tujuan utama dari AT adalah
membantu klien dalam membuat keputusan-keputusan baru yang berhubungan tingkah
lakunya saat ini dan arah hidupnya. Sedangkan sasarnya adalah mendorong klien
agar menyadari, bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh
ketusan awal mengenai posisi hidupnya serta pilihan terhadap cara-cara hidup
yang stagnan dan deterministik. Menurut Berne (1964) dalam Corey (1988) bahwa
tujuan dari AT adalah pencapaian otonom yang diwujudkan oleh penemuan kembali
tiga karakteristik; kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
Penekanan terapi adalah
menggantikan gaya hidup yang ditandai oleh permainan yang manipulatif dan oleh
skenario-skenario hidup yang menyalahkan diri dan gaya hidup otonom ditandai
dengan kesadaran spontanitas dan keakraban. Menurut Haris (19967) yang dikutip
dalam Corey (1988) tujuan pemberian treatment adalah menyembuhkan gejala yang
timbul dan metode treatment adalah membebaskan ego Orang Dewasa sehingga bisa
mengalami kebebasan memilih dan penciptaan pilihan-pilihan baru atas pengaruh
masa lampau yang membatasi. Tujuan terapeutik, dicapai dengan mengajarkan
kepada klien dasar-dasar ego Orang Tua, ego Orang Dewasa, dan ego Anak. Para
klien dalam setting kelompok itu belajar bagaimana menyadari dan menjabarkan
ketiga ego selama ego-ego tersebut muncul dalam transaksi-transaksi kelompok.
VIII.
Fungsi
dan Peran Terapis
Harris (1967) yang dikutip dalam
Corey (1988) memberikan gambaran peran terapis, seperti seorang guru, pelatih
atau nara sumber dengan penekanan kuat pada keterlibatan. Sebagai guru, terapis
menerangkan konsep-konsep seperti analisis struktural, analisis transaksional,
analisis skenario, dan analisis permainan. Selanjutnya menurut Corey (1988),
peran terapis yaitu membantu klien untuk membantu klien menemukan suasana masa
lampau yang merugikan dan menyebabkan klien membuat keputusan-keputusan awal
tertentu, mengindentifikasikan rencana hidup dan mengembangkan
strategi-strategi yang telah digunakannya dalam menghadapi orang lain yang
sekarang mungkin akan dipertimbangkannya. Terapis membantu klien memperoleh
kesadaran yang lebih realistis dan mencari alternatif-alternatif untu menjalani
kehidupan yang lebih otonom.
Terapis memerlukan hubungan yang
setaraf dengan klien, menunjuk kepada kontrak terapi, sebagai bukti bahwa
terapis dan klien sebagai pasangan dalam proses terapi. Tugas terapi adalah,
menggunakan pengetahuannya untuk mendukung klien dalam hubungannya dengan suatu
kontrak spesifik yang jelas diprakarsai oleh klien. Konselor memotivasi dan
mengajari klien agar lebih mempercayai ego Orang Dewasanya sendiri ketimbang
ego Orang Dewasa konselor dalam memeriksa keputusan–keputusan lamanya serta
untuk membuat keputusan-keputusan baru.
IX.
Hubungan
Konselor Dengan Klien
Pelaksanaan terapi AT
beradasarkan kontrak, kontrak tersebut menjelaskan keinginan klien untuk
berubah, di dalam kontrak berisi kesepakatan-kesepakatan yang spesifik, jelas,
dan ringkas. Kontrak menyatakan apa yang dilakukan oleh klien, bagaimana klien
melangkah ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya dan kapan kontrak
tersebut akan berakhir. Kontrak dapat diperpanjang, konselor akan mendukung dan
bekerja sesuai kontrak yang telah menjadi kesepakatan bersama. Pentingnya
keberadaan kontrak, karena umumnya dalam terapi, klien seringkali keluar dari
kesepakatan awal. Menyimpang, cenderung memunculkan masalah-masalah baru,
bersikap pasif, dan dependen akibatnya proses penyembuhan membutuhkan tambahan
waktu. Dengan adanya kontrak maka kewajiban tanggungjawab bagi klien
semakin jelas, membuat usaha klien untuk tidak keluar pada kesepakatan
dan komitmen untuk penyembuhan tetap menjadi perhatian, maka klien menjadi
fokus pada tujuan-tujuan sehingga proses penyembuhan akan semakin cepat.
Maksud dari kontrak lebih
spesifik, yaitu menyepakati cara-cara yang sesungguhnya digunakan dalam terapi
yang disesuikan dengan kebutuhan klien dengan memperhatikan apakah untuk
individu atau kelompok.
Contoh dalam kontrak, misalnya
klien membutuhkan hubungan yang harmonis dan bermakna dengan orang lain,
kemudian dia berkata, “Saya merasa kesepian dan saya ingin lebih memiliki hubungan
yang harmonis dengan para kerabat”. Maka, kontrak yang dibuat harus mencakup
latihan yang spesifik dengan mengerjakan tugas oleh kliean agar dia memiliki
kepercayaan diri untuk berhubungan secara harmonis dan bermakna. Bagaimana
dengan klien yang bingung menentukan apa yang menjadi keinginannya? Selanjutnya
untuk membuat kontrak pun akan sulit, Corey (1988) memberikan solusi, bagi
mereka yang seperti itu disarankan untuk memulai dan menetapkan kontrak jangka
pendek atau kontrak yang lebih mudah dengan berkonsultasi tidak terlalu lama
diyakini kontrak akan bisa ditetapkan. Perlu dipahami bahwa kontrak buka
tujuan, melainkan sebagai alat untuk membantu klien untuk dapat menerima
tanggunjawab agar lebih aktif dan otonom.
Beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh konselor ketika membangun hubungan dengan klien; Pertama,
tidak ada kesenjangan pemahaman antara klien dan konselor yang tidak dapat
jembatani. Kedua, klien memiliki hak-hak yang sama dan penuh dalam terapi, artinya
klien memiliki hak untuk menyimpan atau tidak mengungkapkan sesuatu yang
dianggap rahasia. Ketiga, kontrak memperkecil perbedaan status dan menekankan
persamaan di antara konselor dan klien.
X.
Teknik
dan Prosedur Terapi
Untuk melakukan terapi dengan
pendekatan AT menurut Haris dalam Corey (1988) treatment individu-individu
dalam kelompok adalah memilih analisis-analisis transaksional, menurutnya fase
permualaan AT sebagai suatu proses mengajar dan belajar serta meletakan pada
peran didaktik terapis kelompok. Konsep-konsep AT beserta tekniknya sangat
relevan diterapkan pada situasi kelompok, meskipun demikian penerapan pada
individu juga dianggap boleh dilakukan. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh,
bila digunakan dengan pendekatan kelompok. Pertama, berbagai ego Orang Tua
mewujudkan dirinya dalam transaksi-transaksi bisa diamati. Kedua,
karakteristik-karakteristik ego anak pada masing-masing individu di kelompok
bisa dialami. Ketiga, individu dapat mengalami dalam suatu lingkungan yang
bersifat alamiah, yang ditandai oleh keterlibatan orang lain. Keempat,
konfrontasi permainan yang timbal-balik dapat muncul secara wajar. Kelima, para
klien bergerak dan membaik lebih cepat dalam treatment kelompok.
Prosedur pada AT dikombinasikan
dengan terapi Gestalt, seperti yang dikemukakan oleh James dan Jongeward (1971)
dalam Corey (1988) dia menggabungkan konsep dan prosedur AT dengan eksperimen
Gestalt, dengan kombinasi tersebut hasil yang diperoleh dapat lebih efektif
untuk mencapai kesadaran diri dan otonom. Sedangkan teknik-teknik yang dapat
dipilih dan diterapkan dalam AT, yaitu;
Analisis struktural, para klien
akan belajar bagaimana mengenali ketiga perwakilan ego-nya, ini dapat membantu
klien untuk mengubah pola-pola yang dirasakan dapat menghambat dan membantu
klien untuk menemukan perwakilan ego yang dianggap sebagai landasan tingkah
lakunya, sehingga dapat melihat pilihan-pilihan.
Metode-metode didaktik, AT
menekankan pada domain kognitif, prosedur belajar-mengajar menjadi prosedur
dasar dalam terapi ini.
Analisis transaksional, adalah
penjabaran dari yang dilakukan orang-orang terhadap satu sama lain, sesuatu
yang terjadi diantara orang-orang melibatkan suatu transaksi diantara
perwakilan ego mereka, dimana saat pesan disampaikan diharapkan ada
respon. Ada tiga tipe transaksi yaitu; komplementer, menyilang, dan
terselubung.
Permainan peran,
prosedur-prosedur AT dikombinasikan dengan teknik psikodrama dan permainan
peran. Dalam terapi kelompok, situasi permainan peran dapat melibatkan para
anggota lain. Seseorang anggota kelompok memainkan peran sebagai perwakilan ego
yang menjadi sumber masalah bagi anggota lainnya, kemudian dia berbicara pada
anggota tersebut. Bentuk permainan yang lain adalah permainan menonjolkan gaya-gaya
yang khas dari ego Orang Tua yang konstan.
Analisis upacara, hiburan, dan
permainan, AT meliputi pengenalan terhadap upacara (ritual), hiburan, dan
permainan yang digunakan dalam menyusun waktunya. Penyusunan waktu adalah bahan
penting bagi diskusi dan pemeriksaan karena merefleksikan keputusan tentang
bagaimana menjalankan transaksi dengan orang laindan memperoleh perhatian.
Analisa skenario, kekurangan
otonomi berhubungan dengan keterikatan individu pada skenario atau rencana
hidup yang ditetapkan pada usia dini sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya
di dunia sebagaimana terlihat dari titik yang menguntungkan menurut posisi
hidupnya. Skenario kehidupan, yang didasarkan pada serangkaian keputusan dan
adaptasi sangat mirip dengan pementasan sandiwara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar